BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3
dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang
individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik aspek
kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di
sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek
kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan,
strategi dan model pembelajaran tertentu. Sementara, pembelajaran yang secara
khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat
perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant
effect) atau menjadi hidden curriculum yang disisipkan dalam kegiatan
pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.
Secara
konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang
sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja
maupun kehidupan secara keseluruhan. Meski demikian, pembelajaran afektif
justru lebih banyak dilakukan dan dikembangkan di luar kurikulum formal
sekolah. Salah satunya yang sangat populer adalah model pelatihan kepemimpinan
seperti ESQ ala Ari Ginanjar.
Oleh
karena hal itu, aspek afektif ini sudah semestinya diberikan ruang khusus dalam
proses pembelajaran. Agar target serta tujuan dari proses pendidikan yakni
untuk memanusiakan manusia dapat terwujud dengan sempurna.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian strategi pembelajaran
afektif ?
2.
Model-model pembelajaran apa saja yang
digunakan dalam proses pembelajaran afektif ?
3.
Apa saja kesulitan dalam pembelajaran
afektif ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian strategi
pembelajaran afektif.
2.
Untuk mempelajari model-model
pembelajaran afektif.
3.
Untuk mengetahui kesulitan dalam
pembelajaran afektif.
BAB II
DASAR
TEORI
A. Pengertian
Pembelajaran Afektif
Menurut gagne pembelajaran
adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membentuk suatu proses belajar siswa,
yang berisi serangkaian peristiwa yang di rancang, disusun sedemikian rupa
untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat
internal.
Afektif menurut kamus besar
bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi
keadaan perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang menunjukan perasaan.
Jadi dari setiap pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran afektif adalah suatu sistem yang
bertujuan untuk membentuk suatu proses belajar siswa agar dapat mempengaruhi
keadaan perasaan dan emosi siswa tersebut.
B. Prinsip
Dan Karakteristik Pembelajaran Afektif
1.
Prinsip Pembelajaran Afektif
Pada dasarnya, prinsip
pembelajaran afektif merupakan aspek yang berkaitan dengan perasaan, yang
berarti bahwa materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dan siswa dapat
meresponnya dengan berbagai ekspresi yang mewakili perasaan mereka dalan
pelajaran tertentu. Misalnya, perasaan senang, sedih atau berbagai ekspresi
perasaan yang lainnya.
Prinsip pembelajaran afektif
juga memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang
dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Keberhasilan pembelajaran
pada ranah kognitif dan psikomotorik dipengaruhi oleh kondisi afektif siswa.
2.
Karakteristik Pembelajaran Afektif
Suatu
sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar-mengajar
berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar
sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan
yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan
pembangunan.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting,
yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
1. Sikap
Sikap
merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka
terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan
sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi
verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang
ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap
adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap
mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut
Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk
merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep,
atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap
sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk
ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran,
misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti
pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan
ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan
proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana
pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta
didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
2. Minat
Menurut
Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas,
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan
menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583),minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki
intensitas tinggi.
3.
Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu
terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas
konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri
biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep
diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu
daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta
didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat
dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu
informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi
belajar.
4. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang
perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah
keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada
keyakinan.
Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa
sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif.
Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada
situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu
nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu
dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa
manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini
menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya
satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai
yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan
personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5. Moral
Piaget dan
Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg
mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya
mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap
dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya
seseorang bertindak.
Moral
berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau
perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang
lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis.
Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan
akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip,
nilai, dan keyakinan seseorang.
C.
Langkah-Langkah Belajar Afektif
Langkah-langkah Belajar
afektif adalah mengetahui :
1.
Diri sendiri
2.
Kemampuan belajar anda
3.
Proses yang berhasil anda
gunakan dan dibutuhkan
4.
Minat, dan pengetahuan atas
mata pelajaran yang anda inginkan.
D.
Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Sikap (afektif) erat
kaitannya dengan nilai yang di miliki oleh seseorang. Sikap merupakan refleksi
dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya, pendidikan sikap pada dasarnya adalah
pendidikan nilai.
Nilai adalah suatu konsep
yang berada dalam pikiran manusia yang bersifat tersembunyi, tidak berada
didalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang
tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan
tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak
bisa di raba, kita hanya mungkin dapatb mengetahuinya dari perilaku yang
bersangkutan.
Oleh Karena itulah nilai pada
dasarnya standar prilaku, ukuran yang menetukan atau criteria seseorang tentang
baik dan tidak baik, indah dan tidaj indah, layak dan tidak layak, dan lain
sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai prilaku seseoarang. Denga
demikian, pedidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta
didik yang di harapkan. Oleh karenanya siswa dapat beperilaku sesuai dengan
pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku.
E.
Indikator
Yang Menjadi Fokus
Indikator yang menjadi fokus
dalam pembelajaran afektif yaitu perilaku yang dapat diukur atau diobservasi
untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan
penilaian mata pelajaran.
Pada komponen indikator,
hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
1.
Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi
dasar yang menunjukkan tanda-tanda, perbuatan atau respon yang dilakukan atau
ditampilkan oleh peserta didik.
2.
Indikator dikembangkan sesuai dengan
karakteristik pendidikan, potensi daerah dan peserta didik
3.
Rumusan indikator menggunakan kerja operasional
yang terukur atau yang dapat diobservasi.
4.
Indikator digunakan sebagai bahan dasar untuk
menyusun alat penilaian.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang
bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga
bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan
afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur kareana menyangkut keadaan
seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian
behavioral yang diakibat dari proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Strategi pembelajaran
afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan.
Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh sebab itu
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Apabila
menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan
guru di sekolah kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik,
misalnya dilihat dari kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan,
sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu
terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan keluarga.
B. Model-model
Pembelajaran Afektif
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata terdapat beberapa
model pembelajaran afektif yaitu:
1.
Model Konsiderasi
Manusia seringkali bersifat
egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk mengurusi
dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model)
siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga
mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang
lain.
Langkah-langkah pembelajaran
konsiderasi :
1.
Menghadapkan
siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi,
2.
meminta
siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi
berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain,
3.
siswa
menuliskan responsnya masing-masing,
4.
siswa
menganalisis respons siswa lain,
5.
mengajak
siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya,
6.
meminta
siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.
Model konsiderasi juga dikembangkan
oleh MC. Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak
sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral siswa
menurutnya adalah pembentukan pembentukan kepribadian bukan pengembangan
intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran
yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia
yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru
dapat mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran seperti berikut:
1.
Menghadapkan
siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi ”Seandainya siswa ada dalam masalah
tersebut.”
2.
Menyuruh
siswa untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan hanya yang
tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan,
kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
3.
Menyuruh
siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal
ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar
respons orang lain untuk dibandingkan.
4.
Mengajak
siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari
setiap respons yang diberikan siswa.
5.
Mendorong
siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang
diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala
kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
6.
Mengajak
siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah
wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang
dimilikinya.
7.
Mendorong
siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan
pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.
2.
Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang
pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada
yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai
juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model
pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan
kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional:
1.
Menigidentifikasi
situasi dimana ada ketidakserasian atau penyimpangan tindakan,
2.
menghimpun
informasi tambahan,
3.
menganalisis
situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atau ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam masyarakat,
4.
mencari
alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya,
5.
mengambil
keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuan-ketentuan legal dalam
masyarakat.
3.
Klarifikasi nilai
Setiap orang memiliki sejumlah
nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Klarifikasi nilai
(value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan
atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa menguasai keterampilan
menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan,
agar para siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan
merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.
Langkah-langkah pembelajaran
klasifikasi nilai:
1.
Pemilihan:
para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif
tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya,
2.
mengharagai
pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas pilihannya,
3.
berbuat:
siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada
hal lainnya.
4.
Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung
melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang yang berlangsung
secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model
ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai
moral secara kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral
kognitif:
1.
Menghadapkan
siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai,
2.
siswa
diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu,
3.
siswa
diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan dan kejelekannya,
4.
siswa
didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik,
5.
siswa
menerapkan tindakan dalam segi lain.
Model pengembangan kognitif
dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran
John Dewey yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses
dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut
urutan tertentu. Menurut Kolhberg, moral manusia itu berkembang melalui 3
tingkat , dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap.
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu
memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya pertimbangan moral
didasarkan pada pandangan secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan
aturan yang dibuat oleh masyarakat.
Tingkat prakonvensional terdiri dari
dua tahap, yakni :
1. Orientasi hukuman dan kepatuhan. Artinya
anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak
akan mengakibatkan hukuman, dengan demikian setiap peraturan harus dipatuhi
agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif.
2. Orientasi instrumental relative. Pada
tahap ini perilaku anak didasarka pada perilaku adil, berdasarkan aturan
permainan yang telah disepakati.
b. Tahap Konvensional
Pada tahap konvensional meliputi 2
tahap, yaitu :
1. Keselarasan interpersonal. Pada
tahap ini ditandai dengan perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh
keinginan untuk memenuhi harapan orang lain.
2. Sistem sosial dan kata hati. Pada
tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi
harapan orang lain yang dihormatinya. Melainkan bagaimana kata hatinya.
c. Tingkat postkonvensional
Pada tingkat ini perilaku bukan
hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang
berlaku,akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai
yang dimiliki secara individu.
1.
Kontra
sosial. Pada tahap iniperilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran
yang diakui oleh masyarakat.
2.
Prinsip
etis yang universal. Pada tahap ini perilaku manusia didasarkan pada
prinsip-prinsip universal.
5.
Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan
kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung
dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan
kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan
kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa
mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran
nondirekif:
1.
menciptakan
sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas,
2.
pengungkapan
siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang
dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi,
3.
pengembangan
pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberikan
dorongan,
4.
perencanaan
dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan keputusan, guru
memberikan klarifikasi,
5.
integrasi,
siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan
positif.
C. Kesulitan
dalam Pembelajaran Afektif
Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan
dan/atau memberikan keterampilan tertentu saja, akan tetapi juga membentuk dan
mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dimasyarakat. Proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki
beberapa kesulitan.
Pertama, selama
ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan
untuk pembentukan intelektual. Keberhasilan proses pendidikan dan proses
pembelajaran disekolah ditentukan oleh criteria kemampuan intelektual
(kemampuan kognitif). Akibatnya, upaya yang dilakukan setiap guru diarahkan
kepada bagaimana agar anak dapat menguasai sejumlah pengetahuan sesuai dengan
standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik
dengan penguasaan materi pelajaran. Pendidikan agama atau pendidikan
kewarganegaraan misalnya yang semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan
moral, oleh karena keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual, maka
evaluasinya pun lebih banyak mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran
dalam bentuk kognitif.
Kedua,sulitnya
melakukan kontrol karena banyaknya factor yang dapat memengaruhi perkembangan
sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan
maupun modeling bukan hanya
ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga factor-faktor lain terutama
factor lingkungan. Artinya, walaupun disekolah guru berusaha memberikan contoh
lingkungan anak baik lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, maka
pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan.
Ketiga,
keberhasilan pembentukan sikap tidak bias dievaluasi dengan segera. Berbeda
dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat
diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari
pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal
ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan
proses yang lama.
Keempat,
pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan
aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa :
1.
Strategi pembelajaran afektif adalah
strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja,
akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya, seperti nilai,
sikap dan lain-lain.
2.
Model-model pembelajaran afektif menurut Nana Syaodih ada 5 model yaitu:
a)
Model Konsiderasi
b)
Model Pembentukan
rasional
c)
Model Klarifikasi
nilai
d)
Model Pengembangan
moral kognitif
e)
Model Nondirektif
3.
Kesulitan dalam pembelajaran afektif ada 4
yaitu:
a)
Proses pendidikan sesuai dengan
kurikulum yang berlaku tetapi cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual.
b)
Sulitnya melakukan kontrol karena
banyaknya factor yang dapat memengaruhi perkembangan sikap seseorang.
c)
Keberhasilan pembentukan sikap tidak
bias dievaluasi dengan segera.
d)
Pengaruh kemajuan teknologi, khususnya
teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak
pada pembentukan karakter anak.
B. SARAN
Strategi
pembelajaran afektif berhubungan dengan pembentukan sikap dan nilai. Oleh
karena itu, tuntutan akan kemampuan guru untuk memilih dan memilah metode, yang
sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran merupakan harapan akan keberhasilan
pencapaian prestasi belajar siswa dalam pelajaran.