Sabtu, 29 September 2012

PEMBELAJARAN AFEKTIF


BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan  Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

 Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu. Sementara, pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant effect) atau menjadi hidden curriculum yang disisipkan dalam kegiatan pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.

Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Meski demikian, pembelajaran afektif justru lebih banyak dilakukan dan dikembangkan di luar kurikulum formal sekolah. Salah satunya yang sangat populer adalah model pelatihan kepemimpinan seperti ESQ ala Ari Ginanjar.
Oleh karena hal itu, aspek afektif ini sudah semestinya diberikan ruang khusus dalam proses pembelajaran. Agar target serta tujuan dari proses pendidikan yakni untuk memanusiakan manusia dapat terwujud dengan sempurna.
B.     Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian strategi pembelajaran afektif ?
2.         Model-model pembelajaran apa saja yang digunakan dalam proses pembelajaran afektif ?
3.         Apa saja kesulitan dalam pembelajaran afektif ?

C.     Tujuan
1.         Untuk mengetahui pengertian strategi pembelajaran afektif.
2.         Untuk mempelajari model-model pembelajaran afektif.
3.         Untuk mengetahui kesulitan dalam pembelajaran afektif.













BAB II
DASAR TEORI


A.     Pengertian Pembelajaran Afektif
Menurut gagne pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membentuk suatu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang di rancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal.

Afektif menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang menunjukan perasaan.

Jadi dari setiap pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran afektif adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membentuk suatu proses belajar siswa agar dapat mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi siswa tersebut.

B.     Prinsip Dan Karakteristik Pembelajaran Afektif
1.         Prinsip Pembelajaran Afektif
Pada dasarnya, prinsip pembelajaran afektif merupakan aspek yang berkaitan dengan perasaan, yang berarti bahwa materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dan siswa dapat meresponnya dengan berbagai ekspresi yang mewakili perasaan mereka dalan pelajaran tertentu. Misalnya, perasaan senang, sedih atau berbagai ekspresi perasaan yang lainnya.

Prinsip pembelajaran afektif juga memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotorik dipengaruhi oleh kondisi afektif siswa.
2.         Karakteristik Pembelajaran Afektif
Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar-mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
1.    Sikap               
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya  sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran.  Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.

2.    Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583),minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.

3.    Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah.  Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.

Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi  konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar.

4.    Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.

Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.

Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya  satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.

5.    Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada  bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.

Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.

C.       Langkah-Langkah Belajar Afektif
Langkah-langkah Belajar afektif adalah mengetahui :
1.         Diri sendiri
2.         Kemampuan belajar anda
3.         Proses yang berhasil anda gunakan dan dibutuhkan
4.         Minat, dan pengetahuan atas mata pelajaran yang anda inginkan.
D.     Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang di miliki oleh seseorang. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya, pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang bersifat tersembunyi, tidak berada didalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa di raba, kita hanya mungkin dapatb mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan.

Oleh Karena itulah nilai pada dasarnya standar prilaku, ukuran yang menetukan atau criteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidaj indah, layak dan tidak layak, dan lain sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai prilaku seseoarang. Denga demikian, pedidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang di harapkan. Oleh karenanya siswa dapat beperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
E.      Indikator  Yang Menjadi  Fokus
        Indikator yang menjadi fokus dalam pembelajaran afektif yaitu perilaku yang dapat diukur atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran.

Pada komponen indikator, hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
1.         Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menunjukkan tanda-tanda, perbuatan atau respon yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik.
2.         Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik pendidikan, potensi daerah dan peserta didik
3.         Rumusan indikator menggunakan kerja operasional yang terukur atau yang dapat diobservasi.
4.         Indikator digunakan sebagai bahan dasar untuk menyusun alat penilaian.







BAB III
PEMBAHASAN


A.     Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur kareana menyangkut keadaan seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral  yang diakibat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

Strategi pembelajaran afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh sebab itu menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Apabila menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan keluarga. 

B.     Model-model Pembelajaran Afektif
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata terdapat beberapa model pembelajaran afektif yaitu:
1.    Model Konsiderasi
Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.

Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi :
1.         Menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi,
2.         meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain,
3.         siswa menuliskan responsnya masing-masing,
4.         siswa menganalisis respons siswa lain,
5.         mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya,
6.         meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.

Model konsiderasi juga dikembangkan oleh MC. Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.

Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran seperti berikut:
1.         Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi ”Seandainya siswa ada dalam masalah tersebut.”
2.         Menyuruh siswa untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
3.         Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
4.         Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat  kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
5.         Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
6.         Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
7.         Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

2.    Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.

Langkah-langkah pembelajaran rasional:
1.         Menigidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atau penyimpangan tindakan,
2.         menghimpun informasi tambahan,
3.         menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atau ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat,
4.         mencari alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya,
5.         mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuan-ketentuan legal dalam masyarakat.

3.    Klarifikasi nilai
Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Klarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa menguasai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan, agar para siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.

Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai:
1.         Pemilihan: para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya,
2.         mengharagai pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas pilihannya,
3.         berbuat: siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya.

4.    Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.

Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif:
1.         Menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai,
2.         siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu,
3.         siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan dan kejelekannya,
4.         siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik,
5.         siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
Model pengembangan kognitif dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kolhberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat , dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap.
a.      Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya pertimbangan moral didasarkan pada pandangan secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat.
Tingkat prakonvensional terdiri dari dua tahap, yakni :
1.   Orientasi hukuman dan kepatuhan. Artinya anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman, dengan demikian setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif.
2.    Orientasi instrumental relative. Pada tahap ini perilaku anak didasarka pada perilaku adil, berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati.

b.      Tahap Konvensional
Pada tahap konvensional meliputi 2 tahap, yaitu :
1.    Keselarasan interpersonal. Pada tahap ini ditandai dengan perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain.
2.    Sistem sosial dan kata hati. Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya. Melainkan bagaimana kata hatinya.

c.       Tingkat postkonvensional
Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku,akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki secara individu.
1.        Kontra sosial. Pada tahap iniperilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh masyarakat.
2.        Prinsip etis yang universal. Pada tahap ini perilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip universal.

5.    Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.

Langkah-langkah pembelajaran nondirekif:
1.    menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas,
2.    pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi,
3.    pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberikan dorongan,
4.    perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi,
5.    integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif.

C.     Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan dan/atau memberikan keterampilan tertentu saja, akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.

Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran disekolah ditentukan oleh criteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif). Akibatnya, upaya yang dilakukan setiap guru diarahkan kepada bagaimana agar anak dapat menguasai sejumlah pengetahuan sesuai dengan standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan penguasaan materi pelajaran. Pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan misalnya yang semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan moral, oleh karena keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual, maka evaluasinya pun lebih banyak mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif.

Kedua,sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya factor yang dapat memengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga factor-faktor lain terutama factor lingkungan. Artinya, walaupun disekolah guru berusaha memberikan contoh lingkungan anak baik lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, maka pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan.

Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bias dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama.

Keempat, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak.
















BAB IV
PENUTUP


A.     Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.         Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya, seperti nilai, sikap dan lain-lain.

2.         Model-model pembelajaran afektif  menurut Nana Syaodih ada 5 model yaitu:
a)              Model Konsiderasi
b)             Model Pembentukan rasional
c)              Model Klarifikasi nilai
d)             Model Pengembangan moral kognitif
e)              Model Nondirektif

3.          Kesulitan dalam pembelajaran afektif ada 4 yaitu:
a)             Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku tetapi cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual.
b)             Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya factor yang dapat memengaruhi perkembangan sikap seseorang.
c)             Keberhasilan pembentukan sikap tidak bias dievaluasi dengan segera.
d)             Pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak.

B.     SARAN
Strategi pembelajaran afektif berhubungan dengan pembentukan sikap dan nilai. Oleh karena itu, tuntutan akan kemampuan guru untuk memilih dan memilah metode, yang sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran merupakan harapan akan keberhasilan pencapaian prestasi belajar siswa dalam pelajaran.